Skip to main content

follow us

"Tidak penting seberapa lambat anda berjalan, selama anda tidak berhenti" – Confucius

Sama seperti sebagian diantara anda kawan, saya pun mengawali aktivitas ngeblog lebih dimotivasi oleh profitnya (padahal sampai artikel ini ditulis itu belum saya dapatkan). Untung saja saya juga senang melakukannya sehingga saya tidak berhenti ketika hasilnya belum kelihatan.

Perlu dicatat, hasil yang dimaksud adalah keuntungan materilnya dan sejatinya masih banyak keuntungan-keuntungan (baca: manfaat) non-materil yang sebenarnya saya sudah dapat.

Misalnya, teman saya bertambah (bahkan dari berbagai daerah), kesenangan saat berinteraksi dengan kawan sesama penggiat blog, senang rasanya ketika apa yang kita tulis dan bagi diapresiasi, apalagi bisa memberi manfaat untuk orang lain.

Tentu saja sebagian diantara kawan-kawan sudah merasakan lebih dari manfaat yang saya rasakan. Seperti adsense sudah pecah telor....atau malah banyak yang sudah menerima gaji rutin setiap bulan dari si Mbah (Google lho ya bukan Mbahas hehehe....)

Itu semua upah untuk orang yang sudah menunjukkan komitmennya menjalani profesi (izinkan saya menyebutnya demikian) sebagai blogger.

Beruntunglah kita di dunia ini berlaku hukum kompensasi dimana sekecil apapun usaha yang kita lakukan akan mendapatkan upahnya.

Terhitung hari, minggu, bulan, dan tahun (bagi yang sudah bertahun-tahun...) seorang blogger terus mencari ide, terus menulis, terus berbagi, terus belajar, tanpa disadari bahwa sebenarnya telah banyak yang berubah dalam dirinya.

Setidaknya begitu yang saya rasakan.

Yang dulunya gak pernah menghargai waktu sekarang waktu bagi saya begitu berharga, yang dulu sulit mendisiplinkan diri sekarang bikin jadwal kapan waktu riset, menulis dan posting artikel dan waktu mengerjakan pekerjaan offline.

Yang dulu acuh tak acuh dan tidak terbiasa menghargai apa yang dilakukan orang lain sekarang tidak meninggalkan bacaan di blog teman sebelum memberikan apresiasi. Yang dulu cuek gak pedulian sekarang selalu ingin berbagi.

Sebagian dari kawan-kawan bahkan ada yang lebih hebat lagi, mengalokasikan waktu dan perhatian plus pikiran untuk menulis tutorial demi untuk memberi solusi bagi masalah orang lain. Dan bukti yang paling nyata .... lihatlah blogger-blogger senior yang sudah kenyang makan asam garam di dunia persilatan eh.. perbloggeran tapi tetap low profile.

Makan asam garam mungkin lebih cocok digunakan untuk menggambarkan banyaknya pengalaman dalam menjalani hidup di dunia nyata. Kalau di dunia blogger sepertinya lebih cocok makan keyboard dan kode html plus css hehehe.......

Kalau dipikir-pikir lagi, aktivitas sebagai blogger itu membutuhkan sebagian besar aspek kompetensi yang justru menjadi target pencapaian dalam kurikulum di instituasi pendidikan, seperti kompetensi kognitif (buat mikir), linguistik (buat nulis), sosial (untuk interaksi), afeksi (menghargai), emosi (merasa dan berbagi), bahkan kesabaran (biar tetap nulis walaupun gak ada yang komen diblog kita hehehehe.....keep moving)

Terlepas kita sadari atau tidak, kita menggunakan semua aspek kompetensi itu, melatihnya sepanjang waktu dan bayangkan seperti apa ia akan menjadi “....selama anda tidak berhenti” (Confucius). Semua aspek kompetensi itu akan akan berkembang, bertransformasi dan mengambil bentuk..menjadi karakter.

Bukankah ide yang menarik jika sekolah mewajibkan anak didiknya menjadi blogger....daripada trek-trekan, tawuran, atau pecicilan di Mall. Tingkat minat baca generasi muda mungkin akan meningkat karena mereka butuh bahan postingan untuk blognya.

Sel-sel diotaknya pun akan bertumbuh dengan pesat karena ia butuh kapasitas memori yang lebih besar lagi, belum lagi penambahan percabangan syaraf yang semakin kompleks ketika daya nalarnya semakin meningkat.

Dunia literasi kita mungkin akan kembali ke tangan generasi muda kawan.

Saya jadi ingat kisah Erin Gruwell  (The Freedom Writer Diary), pasti pada ingat dong ya. Seorang guru bahasa inggris yang memulai karirnya di Woodrow Wilson sebuah SMA di California Amerika Serikat.

Gruwell diberi tugas mengajar di kelas 203 yang isinya anak-anak bermasalah korban konflik rasialisme. Hari pertama di kelas 203 guru Gruwell terlibat debat frontal dengan murid-murid kelas 203 yang rasis, pesimis nan sarkartis.

Menyadari permasalah murid-muridnya guru Gruwell memberikan mereka masing-masing sebuah jurnal kosong dan meminta mereka menuliskan apa saja yang mereka rasakan dengan bebas, apakah itu kemarahan, kesedihan atau kegembiraan, terserah.

Mereka harus menulis di jurnal itu setiap hari karena setiap hari harus dikumpulkan untuk dibaca guru Gruwell. Bentuk tulisan pun bebas, apakah itu cerpen, puisi atau pun lagu karena “setiap orang punya cerita dan masalah yang berbeda dalam hidupnya. Tuliskan cerita kalian dan bebaskan diri kalian untuk berekspresi dalam tulisan jurnal.....” begitu kata guru Gruwell.

Guru Gruwell pun terkejut ketika membaca jurnal murid-muridnya tersebut karena hampir semua isinya tentang kehidupan yang sulit tanpa harapan masa depan karena kehidupan mereka yang kacau balau.

Yang dilakukan Gruwell selanjunya adalah mengubah mindset dan memperluas perspektif murid-muridnya dengan buku-buku bacaan yang berbobot. Tak tanggung-tanggung ia merekomendasikan buku “The Diary of Anna Frank” sebagai referensi bacaan.

Sebuah buku yang diangkat dari kisah nyata seorang gadis Belanda yang menjadi korban Genocide* akibat kebencian atas nama ras. Ia juga membawa murid-muridnya study tour ke museum untuk belajar sejarah Holocoust**, bahkan mengundang beberapa korban yang selamat dari peristiwa itu untuk bisa berdiskusi dengan murid-muridnya.

Murid-murid kelas 203 mulai merasa bahwa apa yang mereka alami tidak ada apa-apanya dengan apa yang dialami orang-orang yang hidup saat peristiwa Holocoust bahkan sikap sok jagoan mereka yang merasa sebagai anggota gengster tampak seperti pecundang jika dibandingkan dengan kekejaman Hitler.

Cara mereka melihat dunia pun menjadi berubah, mereka mulai melihat adanya pilihan bahkan dalam situasi tidak adanya harapan.

Semua mulai merasa dan terharu dengan semua pengorbanan guru Gruwell dan mulai menghormati guru Gruwell (sebagian diantara mereka malah mengganggapnya sebagai ibu) dan bertekad berubah menjadi pribadi yang lebih baik, toleran dan optimis dengan masa depan.


Mereka pun menjadi lebih rajin belajar, membaca buku dan menulis jurnal serta berubah menjadi orang yang lebih bermanfaat.

Substansi cerita ini sama dengan apa yang dilakukan seseorang dalam aktivitasnya sebagai blogger. Yang berbeda hanya zaman dan medianya saja. Dimulai dari membuat blog, menulis, berbagi, membaca dan belajar. Hukum repetisi kemudian membuat  aktivitas tersebut membentuk kebiasaan (yang positif) yang pada akhirnya membentuk karakter (yang positif juga).

Jika saya adalah Richard LaGravenese (Sutradara sekaligus penulis skenario film The Freedom Writers Diary) dan ingin me-remake film tersebut di tahun 2017 maka yang diberikan guru Gruwell bukan lagi jurnal kosong tetapi Domain dan Hosting, mungkin juga laptop dan paket internet, jika gaji dari pekerjaan paruh waktu guru Gruwell memungkinkan.

Baca juga 6 Kualitas Figur Referensi Yang Perlu Dimiliki Blogger Versi Blog BADEe

Saat ini murid-murid kelas 203 semua telah menjadi orang-orang yang sukses yang berkonstribusi di bidangnya masing-masing

Pada tahun 2006 seluruh alumni kelas 203 melakukan reuni untuk bertemu dengan Guru Erin Gruwell. Foto dibawah ini adalah kenang-kenangan saat mereka reuni.


Become a blogger makes you better !

*Sebuah pembantaian besar-besaran secara sistematis terhadap satu suku bangsa atau kelompok dengan maksud memusnahkan (membuat punah) bangsa tersebut.
**Merupakan pembantaian sekitar enam juta orang Yahudi yang dilakukan secara sistematis oleh rezim Nazi

You Might Also Like:

Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar